Beranda | Artikel
Hukum Pemeriksaan Keperawanan
Minggu, 13 Januari 2013

Hal ini memang menjadi polemik dan memang merupakan permasalah fikih kontemporer. Ada pro-kontra dalam permasalahan ini, baik dari segi kemanusiaan dan tinjauan syariat. Berikut beberapa fatwa ulama mengenai hal ini.

 

Pemeriksaan keperawanan sebelum menikah

Terdapat fatwa yang melarang hal ini karena menimbang mashlahat dan mafsadahnya. Salah satunya karena bisa menimbulkan kecurigaan dan mengawali pernikahan dengan rasa setengah tidak percaya dengan calon pasangannya. Sehingga bisa berdampak negatif dalam menjalani rumah tangga selanjutnya.

 

Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah (semacam MUI di Saudi).

Pertanyaan:

أنا فتاة مسلمة وأتواجد بفرنسا، من فضلكم أود أن أعلم ما حكم الذهاب لطبيبة للتأكد من أنني عذراء لطلب من خطيبي مع العلم أن الطبيبة ليست مسلمة.
شكرا

Saya seorang pemudi muslimah di Prancis, saya ingin tahu hukum pergi ke dokter wanita untuk memastikan bahwa saya masih perawan karena permintaan calon suami saya, perlu diketahui bahwa dokter tersebut bukan dokter muslimah. Terima kasih.

 

Jawaban:

لحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه، أما بعـد:

فكشف العورة بين غير الزوجين من المحرمات التي يجب على المسلم الحذر منها، لقول النبي صلى الله عليه وسلم: احفظ عورتك إلا من زوجتك أو ما ملكت يمينك. رواه الترمذي وغيره.

وعورة المرأة مع المرأة ما بين السرة والركبة، ويشتد ذلك إذا كان في الفرج، لقول النبي صلى الله عليه وسلم: ولا تنظر المرأة إلى عورة المرأة. رواه مسلم.

وقد استثنى العلماء من هذا ما دعت إليه ضرورة كالعلاج، قال الكاساني: ولا يجوز لها أن تنظر ما بين سرتها إلى الركبة إلا عند الضرورة بأن كانت قابلة فلا بأس لها أن تنظر إلى الفرج عند الولادة. ا.هـ

وما ذكرته السائلة لا يدخل ضمن الضرورة المبيحة للكشف، وبالتالي لا يجوز لها فعل ذلك ولو كان بقصد الزواج

Membuka aurat selain suami-istri termasuk yang diharamkan , wajib bagi setiap muslim memperhatikannya sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“jagalah auratmu kecuali dari istri dan budak-budak wanitamu” (HR. Tirmidzi dan lainnya)

Aurat wanita dengan wanita yang lain adalah antara pusar dan lutut, apalagi jika itu adalah kemaluan. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Janganlah seorang wanita melihat aurat wanita yang lainnya” (HR. Muslim)

Maka hal ini (pemeriksaan keperawanan) tidak boleh baginya.

Sebagian ulama mengecualikan (membuka aurat) jika ada kebutuhan darurat seperti pengobatan, berkata Al-Kasani,

“Melihat antara pusat (wanita) dan lututnya kecuali ketika darurat, jika ia seorang bidan maka tidak mengapa melihat kemaluannya ketika melahirkan”

Dan apa yang disebutkan oleh penanya bukanlah termasuk darurat yang membolehkan dibukanya aurat. Tidak boleh baginya melakukan hal ini walaupun dengan tujuan menikah.[1]

 

Kemudian dalam fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah yang lain dijelaskan:

ثم إنا ننبه إلى أن البكارة ليست من شروط الزواج، كما أنه يتعين على أبوي الفتاة حماية دينها وعرضها ووقايتها من النار بتعليمها أمور دينها وحملها على العفة والبعد عن جميع ما يخدش عفتها وعرضها، وأما الاتكال على فحص البكارة فإنه لا يجدي شيئا؛ إذ قد تفقد الفتاة عذريتها بسبب عارض كوثبة، أو باغتصاب لا دخل لها فيه، أو بتكرار اندفاع الحيض بشدة أو غير ذلك، وفي الحالة هذه لا يجوز للمجتمع ظلمها ولا اتهامها بالسوء، ولا يجوز لزوجها أن يتهمها بالشر، ولا خيار له في فراقها بسبب فقدان البكارة إن لم يكن اشترط عذريتها عند الزواج،

وبناء عليه، فإن هذه الفحوص لا تحل المشكلة، وقد نص الفقهاء على أنه لا يجوز لأولياء البنت أن يذكروا سوابق أخلاقها السيئة فقد نهى عمر بن الخطاب رضي الله عنه عن ذلك.

Kemudian kami mengingatkan bahwa keperawanan bukanlah syarat pernikahan.  Sebagaimana wajib bagi kedua orang tua gadis menjaga agama dan kehormatannya,menjaganya dari neraka dengan mengajarkannya ilmu agama dan menjaga kehormatannya serta menjauhkan dari apa bisa merusak kemuliaan dan  kehormatan.

Adapun bersandar dengan pemeriksaan keperawanan tidak menjamin. Karena seorang gadis kehilangan keperawanan dengan sebab tertentu seperti melompat (kemudian jatuh), pemerkosaan atau berulang tertahannya haidh dengan keras atau yang lainnya. Dalam keadaan ini tidak boleh bagi masyarakat mendzaliminya dengan tuduhan yang jelek, tidak boleh bagi suaminya menuduh dengan tuduhan yang jelek. Tidak ada pilihan (hak) baginya untuk berpisah (menceraikan) karena sebab tidak perawan kecuali ia mempersyaratkan istri harus perawan ketika akan menikah.

Berdasarkan hal ini maka pemeriksaan ini (pemeriksaan keperawanan) tidak memecahkan masalah. Ulama telah menegaskan bahwa tidak boleh bagi wali wanita menyebutkan kelakuan-kelakuan jelek wanita tersebut sebelumnya, Umar bin Khattab telah melarang hal tersebut.[2]

 

Fatwa yang membolehkan ketika ada kebutuhan mendesak

Ada juga ulama yang membolehkan ketika ada kebutuhan mendesak, misalnya suami yang tidak percaya kepada istrinya, sedangkan istri berkeyakinan ia masih perawan. Dan mereka sudah menikah (bukan pemeriksaan sebelum menikah). Maka untuk lebih melegakan hati suami dan mempertahankan rumah tangga, maka boleh dilakukan pemeriksaan keperawanan.

Pertanyaan:

السؤال : هل يجوز لنا أن نقوم بامتحان روتيني لإثبات العفة ؟؟؟

Bolehkah bagi kami melakukan pemeriksaan untuk memastikan keperawanan?

jawaban:

الجواب : ( الحمد لله ، إذا كان المراد إجراء كشف طبي لإثبات البكارة فلا بأس به عند الحاجة إليه بطلب الزوج ، لا سيما عند التهمة وقد يتعين ذلك إذا لم يكن وسيلة سواه ) ( الشيخ : عبد الكريم الخضير

Alhamdulillah, jika tujuan dari pemeriksaan kedokteran tersebut untuk memastikan keperawanan, maka tidak mengapa jika ada kebutuhan misalnya permintaan suami. Lebih-lebih jika terjadi tuduhan dan harus melakukan hal tersebut jika tidak ada sarana pemeriksaan yang lain. (Syaikh Abdul Karim Al-Khudhair)[3]

 

Demikianlah mengenai hal ini, maka hukumnya dirinci, harus mempertimbangankan mashlahat dan mafsadat serta memaparkan keadaan-keadaan yang lain kepada ulama/ustadz yang berilmu sehingga bisa diambil kesimpulan hukum yang mungkin berbeda dalam setiap kasus individu tertentu. wallahu a’lam.

 

 

Disempurnakan di Lombok, Pulau seribu Masjid

1 Rabi’ul Awwal 1434 H

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen

Artikel www.muslimafiyah.com

 

 

 


[1] Dinukil dari: http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&lang=A&Id=46607

[2] Diringkas dari: http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&lang=A&Id=58606

[3] Sumber: http://islamqa.info/ar/ref/26334


Artikel asli: https://muslimafiyah.com/hukum-pemeriksaan-keperawanan.html